top of page

BLOG

Search

Bisnis Sosial di Puncak Anak Tangga CSR

  • Writer: A+CSR Indonesia
    A+CSR Indonesia
  • May 11, 2023
  • 4 min read

Jalal dan Noviansyah Manap

Ketika belajar di sekolah dasar hingga sekolah menengah, bahkan di perguruan tinggi, kita kerap dicekoki dengan apa yang diberi nama Prinsip Ekonomi. Bunyinya: “dengan modal sekecil-kecilnya, mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.” Walaupun manifestasi dari pendirian itu mustahil—yang mungkin adalah dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan tertentu, atau dengan modal tertentu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya—banyak di antara kita tak memiliki kritisisme atasnya. Kita menelan bulat-bulat ‘prinsip’ tersebut sebagai aksioma, kebenaran yang tak perlu lagi dibuktikan.

Ideologi yang melatari ‘prinsip’ tersebut adalah Kapitalisme, yang mengharuskan modal harus tumbuh secepat-cepatnya, sebesar-besarnya. Tentu, dengan keharusan seperti itu, korbanannya jadi sangat banyak. Ciri utama Kapitalisme adalah return atas modal yang disproporsional, jauh melebihi return atas faktor produksi yang lain; cara berpikir jangka pendek; serta pengabaian biaya sosial dan lingkungan, atau yang biasa dikenal sebagai eksternalitas. Kerusakan tatanan sosial dan kehancuran lingkungan adalah dampak dari ideologi tersebut.

Padahal, kalau kita periksa dengan saksama, tak ada sama sekali buku teks tentang perusahaan yang menyatakan bahwa ‘prinsip’ itu adalah satu-satunya penggerak berjalannya perusahaan. Tak ada literatur yang menyatakan bahwa ketika perusahaan ingin mendapatkan keuntungan, maka mereka boleh mempersetankan regulasi dan etika. Bahkan, tak ada juga literatur—kecuali yang sudah sangat tua—yang menyatakan bahwa mencari keuntungan adalah satu-satunya tujuan perusahaan yang sah.

Kami menemukan bahwa terdapat lima tingkatan perusahaan, bila kita melihat bagaimana perusahaan memandang apa itu keuntungan. Kami juga menemukan bahwa sesungguhnya bagaimana CSR perusahaan itu diwujudkan sangatlah terkait dengan hal itu. Artikel pendek ini ingin menjelaskan mengapa demikian.

Pakar yang kerap dinyatakan sebagai pembela Kapitalisme perusahaan adalah Milton Friedman, sang pemenang Nobel bidang ekonomi. Ia memang menyatakan bahwa keuntungan adalah satu-satunya tujuan perusahaan, namun dengan tegas juga ia menyatakan bahwa untuk itu perusahaan perlu untuk patuh pada regulasi, selain memenuhi ekspektasi etika bisnis hingga batas-batas tertentu. Ini membuat bentuk CSR yang utamanya hanya kepatuhan pada regulasi, selain yang bertujuan untuk mengelola risiko belaka. Begitu risiko menyusut, demikian juga CSR-nya.

Di atas tingkatan itu, ada pendirian bahwa keuntungan adalah prasyarat eksistensi perusahaan, walau bukan tujuan perusahaan itu sendiri. Sama dengan hubungan antara makanan dengan manusia, yang dinamakan sebagai fundamental constraint. Pakar yang menyatakannya adalah Eric Beinhocker. Dengan pendirian itu, ketika perusahaan sudah mendapatkan keuntungan yang lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk kebutuhan eksistensinya, maka aktivitas filantropis kemudian banyak digelontorkan, dan itu menjadi ciri utama CSR-nya.

John Elkington punya pendirian berbeda, dan mengisi ruang di atas tingkatan kedua tadi. Menurutnya, tujuan perusahaan bukan sekadar mencari keuntungan, melainkan ada tiga: ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang ia sebut sebagai triple bottom line. Ketiga tujuan tersebut adalah setara, sehingga pencapaian tujuan yang satu tak boleh mengorbankan yang lain. Dengan begitu, seluruh keputusan penting perusahaan harus menimbang ketiga aspek, demikian juga dengan ukuran-ukuran keberhasilannya. Bentuk CSR yang kemudian dihasilkan adalah CSR strategik, yaitu yang berperspektif jangka panjang serta menguntungkan bagi perusahaan dan pemangku kepentingannya sekaligus.

Naik ke jenjang berikutnya, kita bisa bertemu dengan pemikiran Edward Freeman, pakar yang menemukan Teori Pemangku Kepentingan dan mengajukan manajemen pemangku kepentingan sebagai pendekatan bagaimana seharusnya perusahaan dikelola. Pendiriannya, tujuan pendirian perusahaan adalah untuk memenuhi bahkan melampaui ekspektasi pemangku kepentingannya. Keuntungan hanyalah hasil sampingan atau by product saja dari kinerja perusahaan melayani pemangku kepentingannya. Makin besar proporsi pemangku kepentingan yang puas, makin besar peluang perusahaan untuk mendapatkan keuntungan besar dalam jangka panjang. Logika ini menghasilkan CSR transformatif, yang menggeser cara perusahaan menjalankan bisnisnya.

Pada puncak anak tangga ini, kita kembali bertemu dengan seorang pemenang Nobel, kali ini bidang perdamaian, yaitu Muhammad Yunus. Menurutnya, tujuan pendirian perusahaan adalah untuk menyelesaikan beragam masalah yang dihadapi oleh masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, yang belum mendapatkan keuntungan dari pasar yang kebanyakan bersifat eksklusif. Oleh karena itu, alih-alih sebagai tujuan, keuntungan adalah salah satu saja sumberdaya yang dipergunakan untuk membantu penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Model bisnis sosial ini, adalah sebuah bentuk CSR disruptif, yang mengguncang seluruh tatanan ekonomi kapitalistik.

Quod erat demonstrandum. Tak benar bahwa tujuan perusahaan semata-mata adalah mencari keuntungan, apalagi dengan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan. Varian tertinggi dari penjelasan tentang keuntungan bahkan menyatakan bahwa keuntungan ‘hanyalah’ sumberdaya yang sebagian atau seluruhnya akan direinvestasikan untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam kesepakatan para pakar, bisnis sosial perlu untuk mereinvestasi lebih dari separuh keuntungannya untuk pemecahan masalah. Bahkan, Muhammad Yunus menyatakan model dengan dividen nol, yang berarti 100% reinvestasi. Yang penting diingat, ini bukan berarti keuntungan harus dibuat kecil, mengingat bahwa semakin besar keuntungan yang dihasilkan oleh sebuah bisnis sosial, semakin besar pula manfaat yang akan diterima masyarakat penerima manfaatnya.

Karena sifatnya yang demikian, bisnis sosial kini menantang majoritas perusahaan untuk menjadi semakin bermanfaat untuk masyarakat. Perusahaan-perusahaan yang ber-CSR sekadarnya, dengan logika manajemen risiko atau filantropi tentu akan terlihat tak lagi cukup membawa manfaat bagi masyarakat. Dan, perusahaan-perusahaan yang demikian juga kini terbukti kalah dalam kinerja finansialnya. Ada banyak penelitian mutakhir yang membuktikan bahwa semakin tinggi kinerja CSR, semakin tinggi pula kinerja finansial perusahaan. Ini benar-benar membuktikan bahwa pendirian Jed Emerson—yang dituangkan dalam blended value proposition (2003)—yaitu bahwa kinerja sosietal dan kinerja finansial sesungguhnya saling mendukung adalah benar. Tak ada lagi alasan bagi perusahaan untuk mengabaikan CSR.

Apakah perusahaan sosial ini akan menjadi bentuk bisnis yang utama di masa mendatang? Entahlah. Tapi banyak pakar yang mulai menyatakan bahwa hal itu adalah sebuah keniscayaan. Data yang dihimpun oleh William Eggers dan Paul MacMillan (2013) menunjukkan perkembangan perusahaan sosial yang sangat pesat: 15,1% per tahun, dengan total revenue USD2,1 triliun di tahun 2012. Mungkin sudah bisa menjadi pertanda bagaimana perkembangan perusahaan sosial dengan bisnis sosialnya di masa depan.

 
 
 

Comments


We work with executives from:

​© 2023 by Susan Green Coaching.

Proudly created with Wix.com

  • w-facebook
  • Twitter Clean
  • White Google+ Icon
bottom of page