Dampak Larangan Pembakaran lahan Terhadap Petani*
- A+CSR Indonesia

- May 11, 2018
- 2 min read

Pelarangan pembakaran lahan melalui UU dan peraturan lainnya di satu sisi jika ditegakkan sangat efektif mengurangi kebakaran hutan atau lahan, namun di sisi lain mengancam masyarakat lokal yang melakukan pertanian dengan membakar lahan pada tahap persiapan budidaya.
Meskipun ada pengecualian dalam peraturan, pada kenyataannya para petani di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, terutama desa-desa tempat dilakukan studi tidak berani melakukan pembakaran karena ketakutan dengan ancaman sanksi. Hal ini disebabkan karena aturan pelaksana atau aturan teknis tentang pengecualian kebolehan membakar untuk persiapan lahan bagi petani masih belum ada. Aparat pemerintah dari tingkat kabupaten sampai desa tidak berani memberikan ijin resmi pembakaran lahan untuk persiapan musim tanam.
Di lapangan perlakuan antar instansi juga berbeda. Petani di Desa Dabong dan Mekar Sari mencontohkan, ketika mereka mengeluhkan tentang kesulitan melakukan budidaya karena larangan pembakaran lahan, pihak polisi (polsek) masih mengijinkan jika pembakaran dilakukan dengan cara terkontrol dengan luasan lahan terbatas. Namun ketika pembakaran dilakukan, pihak TNI (Koramil) datang melarang kegiatan tersebut.
Petani menceritakan bagaimana ketika ada terjadi kebakaran lahan di desa, aparat keamanan (kepolisian dan/atau TNI) akan datang mengecek dan meminta informasi kepada warga tentang asal-usul api dan sebab kebakaran. Tidak jarang beberapa petani dibawa ke kantor polisi untuk memberikan keterangan lebih rinci. Desa Mekar Sari yang berada relatif dekat dengan bandara, bahkan ketika ada api di lahan petani yang membakar sisa semak-belukar untuk mendapatkan abu untuk pertanian, helikopter pemadam kebakaran datang menyiram air melakukan water-bombing ke lokasi tersebut.
Kebakaran berkurang, petani miskin bertambah?
Warga Dusun Selamat Jaya, Desa Dabong, sebagian besar adalah petani. Lebih dari 70%-nya bekerja sebagai buruh harian lepas di kebun kelapa sawit. Upah buruh sebesar Rp 70.000,-/hari, dengan 20-25 hari kerja sebulan. Pendapatan rata-rata dari buruh sawit sebesar Rp 1.750.000,-/bulan atau sekitar Rp 18.900.000,- setahun. Di samping menjadi buruh, mereka juga melakukan budidaya di lahan gambut dengan menanam jagung, padi, dan sayuran lainnya. Petani yang hanya menanam padi sekali setahun di lahan usahataninya, pendapatan dari budidaya padi: 3 ton gabah kering atau 1,8 ton beras (rata-rata panen padi di lahan gambut) x Rp 10.000,- (harga dihitung dari harga beras lokal, karena padi biasanya tidak dijual namun dikonsumsi sendiri) yaitu Rp 18.000.000,-.
Pada Desa Loncek, ilustrasi kehilangan pendapatan rumah tangga petani juga hampir sama. Petani yang tidak dapat menanam padi dan sayuran di lahan kehilangan 3-4 ton padi atau 1.8-2.4 ton setara beras, 150 kg sayuran dan tanaman lainnya. Perkiraan kehilangan pendapatan sekitar Rp 19.500.000,- - 25.500.000,- per tahun per keluarga.
Jika petani tidak melakukan budidaya pertanian akibat larangan melakukan pembakaran, maka petani kehilangan sekitar 50% penghasilannya rumah tangganya. Padahal mengelola lahan budidaya pertanian selain sumber pendapatan rumah tangga merupakan salah satu faktor penting dalam pengendalian dan pengurangan kebakaran lahan di Kabupaten Kubu Raya. Kehilangan pendapatan tersebut akan bertambah jika petani menanam tanaman lainya seperti jagung atau sayuran lainnya. Petani juga terpaksa harus mengeluarkan biaya untuk membeli beras yang biasanya di dapat dari hasil panen dari lahan budidayanya.
Para petani pada semua desa lokasi studi, menyebutkan bahwa kebijakan pelarangan membakar lahan tanpa ada solusi alternatif untuk melakukan teknik budidaya di lahan gambut, benar-benar akan memiskinkan rumah tangga petani.
*) Dikutip dari Studi Desa Sawit Tanggap Api (DSTA) A+CSR Indonesia untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan, 2016




Comments