top of page

BLOG

Search

Krisis Tersembunyi di Balik Penutupan Tambang: Ketika Fokus Lingkungan Mengabaikan Kehancuran Ekonomi

  • Writer: A+CSR Indonesia
    A+CSR Indonesia
  • Nov 18
  • 13 min read

Penutupan tambang di Indonesia masih didominasi oleh pendekatan teknis dan lingkungan, sementara masyarakat lokal menghadapi keruntuhan ekonomi yang berlangsung puluhan tahun

Di ruang-ruang rapat pemerintah daerah kabupaten penghasil tambang—dari Kutai Timur di Kalimantan Timur hingga Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan—sebuah krisis tersembunyi mengintai di balik kemakmuran saat ini. Daerah-daerah ini kini menikmati pertumbuhan ekonomi pesat, infrastruktur modern, dan pendapatan daerah berlimpah dari sektor batubara. Namun para perencana pembangunan menghadapi paradoks yang mengganggu: dalam kondisi normal, cadangan batubara mereka mungkin masih bertahan 20-30 tahun. Namun tekanan global untuk menghentikan pembangkit listrik berbahan bakar batubara—didorong oleh krisis iklim dan komitmen Paris Agreement—dapat mempercepat penutupan tambang jauh lebih cepat dari perkiraan.


Tiga puluh tahun mungkin terdengar lama dalam kehidupan individu, tetapi dalam siklus pembangunan regional, itu adalah jangka waktu yang sangat pendek—terutama untuk daerah yang sangat bergantung pada monosektor komoditas. Dan jika penutupan dipercepat menjadi 10-15 tahun akibat transisi energi global, waktu untuk mempersiapkan transformasi ekonomi menjadi kritis. Pertanyaan mendesak yang belum terjawab adalah: ketika tambang ditutup—entah karena cadangan habis atau tekanan iklim global—apa yang akan terjadi dengan sekolah-sekolah yang kini dibiayai dari royalti batubara? Bagaimana rumah sakit daerah akan beroperasi tanpa kontribusi perusahaan tambang? Dari mana ribuan pekerja dan keluarga mereka akan mencari nafkah?


Namun ketika kita membuka dokumen Rencana Penutupan Tambang (RPT) dan Rencana Pascatambang yang disusun perusahaan maupun disetujui pemerintah, kita menemukan kesenjangan menganga: fokus yang hampir eksklusif pada rehabilitasi lingkungan dan aspek teknis, dengan perhatian minimal pada bencana sosial-ekonomi yang berpotensi menimpa masyarakat. Pola ini bukan spekulasi—ini adalah pelajaran yang dapat dipelajari dari daerah-daerah tambang di berbagai negara yang telah mengalami penutupan. Di Appalachia, Amerika Serikat, komunitas bekas tambang batubara masih berjuang dengan kemiskinan puluhan tahun setelah penutupan. Di beberapa wilayah Afrika Selatan, penutupan tambang emas meninggalkan "ghost towns" dengan pengangguran massal dan disintegrasi sosial.

Indonesia memiliki kesempatan untuk tidak mengulangi kesalahan ini—tetapi jendela waktu untuk bertindak mungkin lebih sempit dari yang kita kira. Ini bukan sekadar kelalaian administratif—ini adalah kegagalan konseptual yang mendasar dalam cara kita memahami dan mengelola penutupan tambang.


Penutupan Tambang: Lebih dari Sekadar Reklamasi Lahan

Menurut International Council on Mining and Metals (ICMM), penutupan tambang seharusnya mencakup tidak hanya rehabilitasi fisik dan pemantauan lingkungan, tetapi juga pemulihan mata pencaharian dan transisi sosial-ekonomi. Namun dalam praktiknya, terutama di Indonesia, pemahaman ini belum sepenuhnya terimplementasi.

Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik memang mengatur kewajiban reklamasi dan penutupan tambang. Namun penekanannya masih sangat kuat pada aspek teknis-biofisik: stabilisasi lereng, revegetasi, pengelolaan air asam tambang, dan pemulihan bentang alam. Aspek sosial-ekonomi, meski disebutkan, cenderung menjadi pelengkap administratif tanpa mekanisme implementasi dan evaluasi yang konkret.


Akibatnya, sebuah perusahaan tambang bisa secara legal memenuhi kewajiban penutupan dengan menyelesaikan reklamasi lingkungan—menghabiskan ratusan miliar rupiah untuk merevegetasi lahan bekas tambang—sementara meninggalkan komunitas dalam kehancuran ekonomi tanpa konsekuensi hukum.


Bias Penelitian: Cerminan Bias Kebijakan

Kesenjangan ini bukan hanya terjadi di tingkat regulasi dan praktek, tetapi juga dalam dunia akademik dan riset. Kajian literatur menunjukkan bahwa penelitian tentang penutupan tambang di Indonesia didominasi oleh perspektif teknis dan lingkungan.

Kodir et al. (2017) mengembangkan rencana lanskap pasca-tambang terpadu di Sumatera Selatan dengan fokus pada sinkronisasi tata ruang dan reklamasi—tanpa menyentuh dimensi sosial-ekonomi masyarakat. Yassir (2017) mengkaji indikator keberhasilan kebijakan reklamasi dan menemukan bahwa "keberhasilan" diukur dari kepatuhan administratif dan teknis perusahaan, bukan dari manfaat sosial jangka panjang bagi masyarakat lokal. Taqiyuddin dan Hidayat (2020) meneliti penggunaan tanaman adaptif dalam reklamasi tambang batubara di Kalimantan Selatan, menekankan pemilihan jenis tanaman untuk pemulihan ekosistem—tetapi tidak mengulas strategi ekonomi alternatif pasca-tambang. Saputra et al. (2022) meneliti pembentukan tanah dan produktivitas lahan pada area reklamasi—sekali lagi, fokus pada aspek biofisik sebagai indikator keberhasilan.


Dari puluhan penelitian yang ada, mayoritas mengukur "keberhasilan" penutupan tambang melalui lensa lingkungan: berapa persen lahan yang berhasil direvegetasi, seberapa cepat tutupan vegetasi pulih, apakah kualitas air memenuhi baku mutu. Pertanyaan-pertanyaan krusial lainnya jarang diajukan: Bagaimana masyarakat bertahan hidup setelah tambang tutup? Dari mana pemerintah daerah mendapat pendapatan untuk layanan publik? Bagaimana ekonomi lokal bertransisi?


Realitas yang Mengintai: Ketergantungan Ekonomi yang Rapuh

Untuk memahami mengapa bias lingkungan ini berbahaya, kita perlu melihat struktur ekonomi daerah tambang di Indonesia saat ini. Ketika tambang beroperasi—seperti yang terjadi sekarang di banyak kabupaten penghasil batubara—mereka menjadi tulang punggung ekonomi regional. Di kabupaten-kabupaten penghasil batubara di Kalimantan, sektor pertambangan menyumbang 60-80% dari PDRB dan proporsi yang lebih tinggi lagi dari pendapatan asli daerah melalui pajak, royalti, dan kontribusi perusahaan.


Ketergantungan ini meluas jauh melampaui lapangan kerja langsung di tambang. Sebuah ekosistem ekonomi kompleks telah berkembang: perusahaan transportasi dan logistik, pemasok peralatan, jasa katering dan akomodasi, perusahaan konstruksi, bisnis ritel, dan layanan profesional. Penelitian menunjukkan bahwa untuk setiap pekerjaan langsung di tambang, tercipta tiga hingga lima pekerjaan tidak langsung di ekonomi lokal.

Inilah yang membuat risiko penutupan tambang begitu serius: ketika tambang tutup—entah 20-30 tahun lagi dalam skenario normal, atau lebih cepat jika transisi energi global dipercepat—seluruh ekosistem ekonomi ini akan runtuh seperti rumah kartu. Pertanyaannya bukan "apakah" tetapi "kapan"—dan apakah kita akan siap ketika itu terjadi.


Dampak fiskal pada pemerintah daerah akan sangat parah.

Berdasarkan pengalaman daerah tambang di negara lain yang telah mengalami penutupan, daerah yang sangat bergantung pada pendapatan tambang dapat menghadapi defisit anggaran 40-60% atau lebih secara tiba-tiba. Layanan publik esensial—pendidikan, kesehatan, pemeliharaan infrastruktur—tidak akan dapat dipertahankan pada tingkat sekarang. Infrastruktur yang dibangun selama boom tambang—jalan, jembatan, fasilitas umum—akan mulai rusak tanpa dana untuk pemeliharaan. Simbol-simbol visible dari pembangunan dapat menjadi monumen kemakmuran yang telah menguap.


Dimensi manusia dari potensi penutupan tambang bahkan lebih mengkhawatirkan. Pekerja tambang yang saat ini berusia 30-40an akan berusia 50-70an ketika tambang ditutup. Dengan puluhan tahun pengalaman di industri ekstraktif, keterampilan mereka mungkin tidak dapat ditransfer ke sektor lain—terutama jika tidak ada program transisi yang dimulai dari sekarang.

Generasi muda yang saat ini menikmati peluang kerja dari sektor tambang akan menghadapi ketidakpastian besar. Jika tidak ada diversifikasi ekonomi yang dimulai sekarang, mereka mungkin terpaksa bermigrasi ke kota-kota besar, menciptakan pengosongan demografis.


Mereka yang tertinggal secara tidak proporsional akan menjadi lansia, menciptakan komunitas yang kehilangan dinamisme dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk diversifikasi ekonomi.

Perempuan akan sangat rentan. Banyak perempuan di komunitas tambang bekerja di sektor informal—pedagang makanan, pemilik warung kecil, pekerja rumah tangga—yang sepenuhnya bergantung pada ekonomi tambang. Ketika tambang tutup dan pekerja pergi, bisnis informal ini akan runtuh, namun perempuan jarang akan memenuhi syarat untuk program bantuan transisi formal atau pelatihan ulang yang dirancang terutama untuk mantan pekerja tambang—kecuali program-program ini dirancang dari sekarang dengan perspektif yang inklusif.


Risiko Penutupan Dipercepat: Tekanan Transisi Energi Global

Yang membuat situasi ini lebih mendesak adalah kemungkinan penutupan dipercepat akibat transisi energi global. Komitmen Paris Agreement mendorong negara-negara untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batubara. China, pasar ekspor batubara terbesar Indonesia, telah berkomitmen mencapai net-zero emissions sebelum 2060 dan mengurangi konsumsi batubara secara drastis. Uni Eropa menargetkan penghentian total batubara dalam pembangkit listrik. Jepang dan Korea Selatan mempercepat transisi ke energi terbarukan.

Jika momentum ini berlanjut, permintaan batubara global dapat anjlok jauh sebelum cadangan geologis habis. Tambang-tambang yang secara teknis masih memiliki cadangan 30 tahun mungkin harus tutup dalam 10-15 tahun karena tidak ada lagi pasar. Ini berarti daerah penghasil batubara di Indonesia memiliki waktu yang jauh lebih sempit untuk mempersiapkan transisi ekonomi—namun kesadaran dan tindakan untuk mempersiapkan skenario ini masih sangat minimal.


Ilusi Lingkaran Dampak: Ketika Ring 1-2-3 Tidak Cukup

Salah satu kelemahan mendasar dalam pendekatan penutupan tambang saat ini adalah konsep "masyarakat terdampak" yang terlalu sempit. Hampir semua regulasi nasional dan standar internasional—termasuk IFC Performance Standards, ICMM Guidelines, bahkan Permen ESDM 26/2018—mendefinisikan masyarakat terdampak berdasarkan kedekatan geografis dengan operasi tambang.


Dalam praktik, perusahaan tambang mengidentifikasi masyarakat terdampak dalam zona konsentris: Ring 1 (desa-desa yang berbatasan langsung dengan area konsesi), Ring 2 (desa-desa dalam radius tertentu yang terkena dampak tidak langsung seperti debu atau getaran), dan Ring 3 (wilayah yang lebih luas dengan dampak kumulatif). Program Community Development, CSR, dan rencana penutupan tambang biasanya berfokus pada populasi dalam ring-ring ini—mungkin melibatkan puluhan desa dengan puluhan ribu penduduk.


Pendekatan ini mungkin memadai untuk mengelola dampak operasional: polusi udara, kebisingan, gangguan lalu lintas, kompetisi atas sumber daya air. Namun untuk dampak penutupan tambang, pendekatan geografis ini mengalami blind spot yang fatal.


Dampak Ekonomi Tidak Mengenal Batas Ring

Ketika sebuah tambang batubara besar di Kalimantan beroperasi dengan 5.000 pekerja langsung, dampak ekonominya tidak terbatas pada desa-desa di sekitar pit tambang. Pekerja-pekerja ini—beserta 15.000-20.000 pekerja tidak langsung dalam rantai pasokan—tinggal, berbelanja, menggunakan layanan, dan mendukung ekonomi di seluruh kabupaten, bahkan lintas kabupaten.


Seorang insinyur tambang yang tinggal di ibu kota kabupaten berbelanja di supermarket lokal, anaknya sekolah di sekolah swasta yang membayar gaji guru, keluarganya makan di restoran, menggunakan jasa salon dan bengkel mobil. Operator alat berat yang tinggal 50 km dari lokasi tambang mengirim anaknya les privat, membeli motor baru dari dealer lokal, merenovasi rumahnya menggunakan tukang dan material dari toko bangunan setempat.


Perusahaan transportasi yang mengangkut batubara mungkin berkantor di kabupaten tetangga. Supplier suku cadang alat berat ada di ibu kota provinsi. Kontraktor konstruksi yang membangun infrastruktur tambang mempekerjakan ratusan pekerja dari berbagai daerah. Hotel dan rumah makan di sepanjang jalur transportasi batubara bergantung pada mobilitas pekerja tambang dan truk pengangkut.


Ketika tambang tutup, semua aktivitas ekonomi ini berhenti—dan dampaknya dirasakan jauh melampaui Ring 1, 2, atau 3. Pemilik warung makan di ibu kota kabupaten yang tidak pernah masuk dalam kategori "masyarakat terdampak" tiba-tiba kehilangan 70% pelanggannya. Guru les privat kehilangan murid. Dealer motor kehilangan pembeli. Toko bangunan kehilangan order. Bank kehilangan nasabah yang mampu menabung dan mengambil kredit.


Dampak Fiskal: Seluruh Kabupaten Terdampak

Yang lebih krusial lagi adalah dampak fiskal. Royalti, pajak, dan kontribusi perusahaan tambang tidak hanya menguntungkan desa-desa Ring 1-3. Dana ini masuk ke kas kabupaten dan digunakan untuk membiayai layanan publik di seluruh wilayah: sekolah-sekolah negeri di semua kecamatan, puskesmas di seluruh kabupaten, jalan kabupaten yang menghubungkan daerah non-tambang, belanja pegawai pemerintah daerah, subsidi untuk sektor lain.

Di kabupaten yang sangat bergantung pada sektor tambang, 60-80% APBD bisa berasal dari sektor ini. Ketika tambang tutup, bukan hanya desa-desa Ring 1-3 yang kehilangan program CSR—seluruh kabupaten kehilangan kemampuan untuk membiayai layanan publik dasar. Sekolah di kecamatan yang berjarak 100 km dari lokasi tambang, yang tidak pernah menerima sepeser pun CSR perusahaan, tiba-tiba kekurangan dana operasional karena APBD kabupaten anjlok.


Dalam beberapa kasus, dampak melampaui batas kabupaten. Pekerja tambang dari kabupaten tetangga yang kehilangan pekerjaan kembali ke daerah asal mereka—membawa dampak pengangguran dan penurunan daya beli ke wilayah yang secara geografis bahkan tidak berbatasan dengan area tambang.


Ketidakcukupan Program Transisi Berbasis Ring

Dengan pemahaman yang terbatas pada Ring 1-3, program-program transisi penutupan tambang menjadi tidak memadai secara fundamental. Perusahaan mungkin menyediakan program reskilling untuk 5.000 pekerja langsung mereka—melatih operator alat berat menjadi petani atau pengrajin, memberikan modal usaha untuk mantan karyawan. Mereka mungkin menjalankan program alternatif income untuk masyarakat di desa-desa Ring 1-3—pelatihan ternak, budidaya ikan, kewirausahaan mikro.


Program-program ini penting dan perlu. Namun jika hanya 5.000 pekerja langsung yang mendapat program reskilling, bagaimana dengan 15.000-20.000 pekerja tidak langsung dalam supply chain yang juga kehilangan pekerjaan? Jika hanya desa-desa Ring 1-3 dengan populasi 50.000 orang yang mendapat program alternatif income, bagaimana dengan 200.000 penduduk lain di seluruh kabupaten yang bergantung pada ekonomi berbasis tambang—pedagang, tukang, guru les, montir, pegawai toko, pemilik warung, dan ribuan pelaku UMKM lainnya?


Lebih jauh lagi, program-program mikro berbasis komunitas—sekaliber apapun—tidak dapat menggantikan hilangnya 60-80% dari ekonomi kabupaten. Melatih 1.000 keluarga beternak ayam atau membuka warung tidak akan menciptakan demand yang cukup untuk menyerap semua produk dan layanan mereka ketika basis ekonomi regional telah runtuh. Tanpa strategi diversifikasi ekonomi di tingkat kabupaten dan regional, program-program mikro ini sering berakhir sia-sia.


Kebutuhan Perspektif Regional

Ini menggarisbawahi mengapa penutupan tambang tidak bisa didekati hanya sebagai masalah corporate responsibility terhadap masyarakat Ring 1-3. Ini adalah masalah pembangunan regional yang memerlukan perencanaan di tingkat kabupaten, bahkan provinsi.

Pemerintah daerah harus memahami bahwa penutupan tambang bukan hanya masalah bagi beberapa desa di sekitar pit—ini adalah ancaman eksistensial bagi seluruh ekonomi kabupaten. Program diversifikasi ekonomi tidak bisa hanya berfokus pada memberi alternatif livelihood untuk ribuan orang—mereka harus menciptakan sektor-sektor ekonomi baru yang dapat menyerap puluhan hingga ratusan ribu orang yang bergantung pada ekonomi berbasis tambang.


Ini memerlukan investasi masif dalam infrastruktur produktif di luar sektor tambang: pengembangan agro-industri, pariwisata, manufaktur ringan, ekonomi digital, energi terbarukan. Ini memerlukan strategi untuk menarik investasi non-tambang, membangun ekosistem bisnis baru, mengembangkan klaster industri alternatif. Ini memerlukan transformasi dari ekonomi mono-sektor menjadi ekonomi terdiversifikasi—proses yang membutuhkan puluhan tahun dan investasi triliunan rupiah.


Dan ini harus dimulai sekarang—tidak menunggu lima tahun sebelum tambang tutup, ketika sudah terlambat. Namun selama fokus kita tetap pada rehabilitasi lingkungan dan program mikro untuk Ring 1-3, transformasi regional yang dibutuhkan tidak akan pernah terjadi.


Mengapa Fokus Lingkungan Saja Tidak Cukup

Jangan salah paham—rehabilitasi lingkungan sangat penting. Tambang yang ditinggalkan menciptakan bahaya lingkungan serius: kontaminasi air, erosi tanah, kehilangan habitat, dan risiko keselamatan fisik. Investasi dalam pemulihan ekologis adalah kewajiban moral dan hukum.


Namun masalahnya adalah false dichotomy yang kita ciptakan: seolah-olah kita harus memilih antara rehabilitasi lingkungan atau transisi sosial-ekonomi. Dalam kenyataannya, keduanya sama-sama penting dan saling terkait. Sebuah lahan yang berhasil direklamasi memberikan sedikit penghiburan bagi keluarga yang tidak bisa memberi makan anak-anak mereka, atau pemerintah daerah yang tidak bisa mempertahankan sekolah.


Lebih jauh, bias lingkungan ini sebagian mencerminkan kerangka regulasi itu sendiri. Standar lingkungan spesifik, terukur, dan dapat ditegakkan: berapa persen tutupan vegetasi, berapa tingkat pH air, berapa kemiringan lereng yang stabil. Kewajiban sosial-ekonomi sering samar, aspirasional, dan sulit dipantau atau ditegakkan. Perusahaan dapat secara teknis mematuhi regulasi penutupan sambil meninggalkan komunitas yang hancur secara ekonomi—dan tidak menghadapi konsekuensi hukum.


Ini juga mencerminkan realitas politik ekonomi. Rehabilitasi lingkungan, meski mahal, adalah biaya yang dapat diprediksi dan terbatas. Transisi sosial-ekonomi jauh lebih kompleks, jangka panjang, dan tidak pasti. Perusahaan tambang, dengan cakrawala waktu kuartalan dan fokus pada pengembalian pemegang saham, secara alami cenderung pada kewajiban yang terdefinisi dengan baik daripada komitmen terbuka untuk pembangunan ekonomi regional.


Pembelajaran dari Konteks Global

Ironisnya, Indonesia tertinggal dari praktik terbaik global dalam hal ini. Penelitian internasional selama dua dekade terakhir semakin menekankan bahwa penutupan tambang harus dipandang sebagai "proses transformasi multi-dimensi" yang mencakup restrukturisasi ekonomi, adaptasi sosial, dan reformasi tata kelola—bukan sekadar tahap teknis atau kegiatan rehabilitasi lingkungan.


Peneliti seperti Laurence (2006), Cole (2024), dan Marais et al. (2024) telah mengembangkan model risiko penutupan yang mengintegrasikan indikator ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola. Konsep "just transition" atau transisi yang adil semakin mendapat perhatian—mengakui bahwa pergeseran ekonomi besar harus dikelola dengan cara yang melindungi pekerja dan komunitas yang terdampak.


Boggs et al. (2023) mengkritik bahwa sebagian besar praktik penutupan tambang masih berorientasi pada rehabilitasi teknis dan pemenuhan regulasi, padahal tantangan terbesar justru terletak pada bagaimana masyarakat dan wilayah dapat bertransformasi secara berkelanjutan setelah tambang berhenti beroperasi. Everingham (2020) menekankan pendekatan partisipatif di mana komunitas bukan penerima pasif dari rencana perusahaan atau pemerintah, tetapi mitra aktif dalam perencanaan transisi.


Marais et al. (2024) mengidentifikasi bahwa kegagalan penutupan tambang sering berkaitan dengan ketergantungan sosial-politik serta lemahnya kapasitas institusional dan tata kelola. Ketergantungan ini menyebabkan resistensi terhadap penutupan tambang bahkan ketika sumber daya telah habis, karena komunitas dan pemerintah lokal kehilangan sense of control serta menghadapi ketergantungan fiskal dan sosial yang sudah mengakar.


Jalan ke Depan: Rebalancing Prioritas

Jelas bahwa Indonesia memerlukan reorientasi mendasar dalam cara kita mendekati penutupan tambang. Ini tidak berarti mengabaikan rehabilitasi lingkungan—melainkan mengintegrasikannya dengan perencanaan sosial-ekonomi yang sama rigornya, dengan cakrawala waktu yang sama panjangnya, dan dengan komitmen sumber daya yang sebanding.

Penutupan tambang yang bertanggung jawab harus dimulai bukan beberapa tahun sebelum penutupan, tetapi dari tahap perencanaan awal. Diversifikasi ekonomi harus aktif dipromosikan sepanjang siklus hidup tambang. Pemerintah daerah harus membangun dana cadangan selama tahun-tahun boom dan secara bertahap mengurangi ketergantungan fiskal pada pendapatan tambang.


Program komprehensif harus membantu pekerja tambang bertransisi ke mata pencaharian alternatif bertahun-tahun sebelum penutupan—bukan sebagai afterthought. Infrastruktur yang dibangun selama operasi tambang harus dirancang dengan keberlanjutan pasca-penutupan dalam pikiran, dengan perencanaan realistis untuk biaya pemeliharaan.

Yang terpenting, komunitas harus menjadi mitra sejati dalam perencanaan penutupan—bukan sekadar diinformasikan atau dikonsultasikan secara simbolis, tetapi benar-benar memiliki suara dalam strategi transisi yang mempengaruhi masa depan mereka.


Kesimpulan: Jendela Kesempatan yang Menyempit

Penutupan tambang tidak bisa dihindari—deposit mineral terbatas, dan tekanan transisi energi global semakin kuat. Pertanyaannya bukan apakah tambang akan ditutup, tetapi kapan—dan apakah kita akan siap ketika saat itu tiba.

Daerah penghasil batubara di Indonesia seperti Kutai Timur dan Tanah Bumbu masih memiliki jendela kesempatan untuk mempersiapkan transisi. Namun jendela ini mungkin lebih sempit dari yang terlihat—terutama jika akselerasi transisi energi global mempercepat penutupan tambang.


Pendekatan saat ini yang memprioritaskan rehabilitasi lingkungan sambil sebagian besar mengabaikan persiapan transisi sosial-ekonomi adalah strategi yang berbahaya. Sebuah lahan yang berhasil direklamasi memberikan sedikit nilai jika komunitas tidak memiliki mata pencaharian alternatif, jika pemerintah daerah tidak memiliki sumber pendapatan pengganti, jika generasi muda tidak memiliki keterampilan untuk ekonomi non-tambang.


Penutupan tambang yang bertanggung jawab harus dimulai sekarang—bukan beberapa tahun sebelum tambang tutup. Diversifikasi ekonomi, pembangunan kapasitas, pengembangan sektor alternatif, pelatihan tenaga kerja—semua ini memerlukan waktu puluhan tahun untuk membuahkan hasil. Tiga puluh tahun mungkin terdengar lama, tetapi dalam konteks transformasi ekonomi regional, itu adalah waktu yang sangat terbatas.


Sektor pertambangan Indonesia, pemerintah pusat dan daerah, serta komunitas pembangunan harus secara fundamental memikirkan ulang penutupan tambang. Pertimbangan sosial dan ekonomi harus ditingkatkan ke status yang sama dengan kekhawatiran lingkungan—dengan persyaratan spesifik, hasil yang terukur, pembiayaan yang memadai, dan mekanisme penegakan yang kuat.


Menyelesaikan penutupan tambang dengan benar bukan opsional. Ini adalah ujian apakah industri ekstraktif benar-benar dapat berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan—atau apakah mereka tetap menjadi sumber kemakmuran sementara yang meninggalkan warisan kemiskinan jangka panjang.


Masyarakat di daerah tambang Indonesia layak mendapatkan lebih baik daripada menunggu krisis terjadi. Mereka layak mendapat perencanaan yang dimulai hari ini—sehingga ketika tambang tutup, entah 30 tahun lagi atau lebih cepat, komunitas mereka tidak runtuh tetapi bertransformasi. Sudah waktunya kita mengakui bahwa penutupan tambang yang sukses diukur bukan hanya oleh berapa banyak pohon yang ditanam, tetapi oleh berapa banyak kehidupan yang dapat terus berkembang dengan bermartabat setelah tambang pergi.


Jam terus berdetak. Pertanyaannya adalah: apakah kita akan bertindak sekarang, atau menunggu sampai terlambat?


-Noviansyah Manap-


Artikel ini diadaptasi dari penelitian tentang pengembangan Indeks Risiko Penutupan Tambang Indonesia (IMCRI) dan Kesiapan Pemerintah Daerah yang mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola dalam menilai kesiapan daerah menghadapi penutupan tambang.



Daftar Pustaka


  1. APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation). (2018). Mine closure checklist for governments. APEC Mining Task Force.

  2. Bainton, N., & Holcombe, S. (2021). The social and economic impacts of mining. In D. Southalan (Ed.), Modern mining: The social, environmental and economic impacts (pp. 163-190). Springer.

  3. Boggs, J. S., Chambers, D. M., & Lacey, J. (2023). Mining legacies: Understanding and managing post-closure transitions. The Extractive Industries and Society, 13, 101198.

  4. Bolz, E., Vela-Almeida, D., & Kolinjivadi, V. (2022). Post-mining regions: A meta-ethnographic approach to understand the futures of places after extractive industries. The Extractive Industries and Society, 11, 101140.

  5. Cole, S. (2024). Mine closure risk rating system: A comprehensive approach to evaluating closure readiness. Resources Policy, 89, 104567.

  6. Everingham, J. A. (2020). Community development and transitions: A multi-stakeholder perspective. In F. Vanclay & A. M. Esteves (Eds.), New directions in social impact assessment (pp. 287-304). Edward Elgar Publishing.

  7. Haney, M., & Shkaratan, M. (2003). Mine closure and its impact on the community: Five years after mine closure in Romania, Russia, and Ukraine. World Bank Policy Research Working Paper 3083.

  8. ICMM (International Council on Mining and Metals). (2019). Integrated mine closure: Good practice guide (2nd ed.). ICMM.

  9. ICMM (International Council on Mining and Metals). (2025). Approaches to understanding development outcomes from mining. ICMM.

  10. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta: Kementerian ESDM.

  11. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2018). Keputusan Menteri ESDM Nomor 1824 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik. Jakarta: Kementerian ESDM.

  12. Kodir, A., Hartono, D. M., Haeruman, H., & Mansur, I. (2017). Integrated post-mining landscape for sustainable land use: A case study on coal mining in South Sumatra, Indonesia. Sustainable Environment Research, 27(4), 203-213.

  13. Laurence, D. (2006). Optimisation of the mine closure process. Journal of Cleaner Production, 14(3-4), 285-298.

  14. Marais, L. (2023). Mining regions in transition: Understanding the dynamics of change. The Extractive Industries and Society, 14, 101242.

  15. Marais, L., van Rooyen, D., Lenka, M., Chanza, N., & Khambule, I. (2024). Mining closure, dependency frameworks, and developmental outcomes: Towards a research agenda. The Extractive Industries and Society, 17, 101389.

  16. Samadinia, E., van Acker, K., & Reuter, M. A. (2022). Mine closure risk management: A systematic review. Resources Policy, 78, 102791.

  17. Saputra, D. D., Khairullah, M. I., & Yusuf, M. (2022). Soil formation process and land productivity potential in reclamation areas of PT Borneo Indobara, South Kalimantan. Jurnal EnviroScienteae, 18(1), 1-10.

  18. Taqiyuddin, M., & Hidayat, Y. (2020). Pemanfaatan tanaman adaptif dalam reklamasi lahan bekas tambang batubara di Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis, 8(2), 156-165.

  19. United Nations Framework Convention on Climate Change. (2015). Paris Agreement. United Nations.

  20. Yassir, I. (2017). Indikator keberhasilan kebijakan reklamasi tambang batubara di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1), 67-86.




ree

 
 
 

Comments


We work with executives from:

​© 2023 by Susan Green Coaching.

Proudly created with Wix.com

  • w-facebook
  • Twitter Clean
  • White Google+ Icon
bottom of page