Melampaui Doktrin Friedman: Memikirkan Ulang Tujuan Korporasi di Era Keberlanjutan
- A+CSR Indonesia

- Nov 18
- 6 min read
Bagaimana sebuah esai tahun 1970 memicu perdebatan lima dekade—dan mengapa memahami Friedman dengan benar penting bagi pembangunan berkelanjutan
Pada September 1970, ekonom pemenang Nobel Milton Friedman menerbitkan sebuah esai di The New York Times yang kelak menjadi salah satu tulisan paling banyak dikutip—sekaligus paling disalahpahami—dalam etika bisnis. "The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits" mengajukan klaim tegas: korporasi hanya ada untuk memaksimalkan keuntungan pemegang saham, dalam batas-batas hukum dan kebiasaan etis. Selama puluhan tahun, "Doktrin Friedman" ini membentuk tata kelola korporasi, memengaruhi kebijakan, dan memicu perdebatan sengit yang terus berlanjut hingga hari ini.
Namun, apakah kita memahami Friedman dengan benar? Dan yang lebih penting, apa arti perdebatan ini bagi pembangunan berkelanjutan di era krisis iklim, ketimpangan sosial, dan tuntutan pemangku kepentingan yang terus meningkat?
Apa yang Sebenarnya Dikatakan Friedman—Dan Apa yang Tidak
Argumen Friedman sangat lugas: dalam sistem perusahaan bebas dengan kepemilikan pribadi, eksekutif korporasi adalah karyawan dari pemilik bisnis. Tanggung jawab utama mereka adalah menjalankan bisnis sesuai keinginan pemegang saham—yang umumnya berarti menghasilkan uang sebanyak mungkin. Ketika eksekutif mengalihkan sumber daya korporasi untuk tujuan sosial yang tidak terkait dengan maksimalisasi keuntungan, menurut Friedman, mereka pada dasarnya memungut pajak dan memutuskan bagaimana membelanjakannya—fungsi yang seharusnya menjadi milik pemerintah, bukan bisnis.
Yang krusial, Friedman menyertakan peringatan penting yang sering diabaikan oleh pendukung maupun kritikus: keuntungan harus dikejar "sambil mematuhi aturan dasar masyarakat, baik yang terwujud dalam hukum maupun dalam kebiasaan etis." Kualifikasi ini sangat penting, namun sering dihilangkan dari ringkasan posisinya.
Friedman tidak menganjurkan pengejaran keuntungan yang ceroboh dengan segala cara. Dia menentang apa yang dilihatnya sebagai eksekutif yang bermain-main sebagai insinyur sosial amatir dengan uang pemegang saham. Kekhawatirannya adalah tentang akuntabilitas dan legitimasi demokratis: siapa yang memutuskan tujuan sosial mana yang layak mendapat sumber daya korporasi, dan atas dasar wewenang apa? Dalam pandangan Friedman, individu—termasuk pemegang saham yang menerima dividen—harus membuat pilihan tersebut dengan uang mereka sendiri.
Sebagaimana kemudian dicatat oleh ahli etika bisnis Edward Freeman, Friedman tidak selalu menentang amal atau tanggung jawab sosial korporasi—dia menentang amal dan inisiatif sosial yang terputus dari tujuan bisnis. Perbedaan ini sangat penting.
Bangkitnya Primasi Pemegang Saham—Dan Konsekuensinya
Terlepas dari nuansa Friedman, esainya menjadi fondasi intelektual bagi apa yang dikritik sebagai "shareholder primacy" atau primasi pemegang saham—doktrin bahwa memaksimalkan nilai pemegang saham adalah tugas tertinggi, bahkan eksklusif, dari manajemen. Dari tahun 1980-an hingga 2000-an, filosofi ini mendominasi ruang-ruang direksi korporasi, sekolah bisnis, dan pasar keuangan.
Hasilnya beragam. Di satu sisi, penekanan pada nilai pemegang saham mendorong perbaikan dalam efisiensi operasional, alokasi modal, dan tata kelola korporasi. Perusahaan menjadi lebih disiplin, produktivitas meningkat, dan pemegang saham—termasuk dana pensiun yang mewakili pekerja—mendapat manfaat dari kenaikan nilai saham.
Di sisi lain, kritikus berpendapat bahwa primasi pemegang saham mendorong orientasi jangka pendek yang berbahaya. Eksekutif fokus pada laba kuartalan dengan mengorbankan investasi jangka panjang dalam inovasi, pengembangan karyawan, dan pengelolaan lingkungan. Pembelian kembali saham dan paket kompensasi eksekutif yang terkait dengan harga saham menciptakan insentif yang menyimpang untuk rekayasa keuangan daripada penciptaan nilai sejati.
Krisis keuangan 2008 mengkristalisasi kekhawatiran ini. Lembaga keuangan telah mengejar strategi berisiko untuk memaksimalkan keuntungan dan pengembalian pemegang saham jangka pendek, memicu krisis ekonomi global yang menghancurkan jutaan nyawa. Demikian pula, bencana seperti tumpahan minyak BP Deepwater Horizon tahun 2010 mengungkap bagaimana pemotongan biaya untuk meningkatkan keuntungan dapat menyebabkan kegagalan keselamatan yang katastrofik, kerusakan lingkungan, dan pada akhirnya kerugian besar dalam nilai pemegang saham—justru kebalikan dari apa yang seharusnya dicapai oleh primasi pemegang saham.
Masuknya Alternatif Stakeholder
Sebagai respons terhadap kegagalan yang dirasakan dari primasi pemegang saham, teori stakeholder—yang paling menonjol diartikulasikan oleh R. Edward Freeman dalam bukunya tahun 1984 "Strategic Management: A Stakeholder Approach"—memperoleh keunggulan. Freeman mendefinisikan stakeholder sebagai "setiap kelompok atau individu yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi."
Teori stakeholder berpendapat bahwa korporasi harus menciptakan nilai untuk semua pemangku kepentingan: pemegang saham, tentu saja, tetapi juga karyawan, pelanggan, pemasok, komunitas, dan lingkungan. Alih-alih kompetisi zero-sum di mana pemegang saham menang dengan mengorbankan yang lain, kapitalisme stakeholder membayangkan bisnis sebagai usaha positive-sum di mana penciptaan nilai berkelanjutan menguntungkan semua pihak.
Ini bukan sekadar idealisme. Penelitian semakin menunjukkan bahwa perusahaan yang memperhatikan kepentingan stakeholder sering mengungguli rekan-rekan yang berfokus sempit pada pemegang saham dalam jangka panjang. Keterlibatan karyawan mendorong produktivitas. Loyalitas pelanggan membangun aliran pendapatan yang tangguh. Kemitraan rantai pasokan meningkatkan keandalan operasional. Niat baik masyarakat mengamankan izin sosial untuk beroperasi. Pengelolaan lingkungan mengurangi risiko regulasi dan reputasi.
Pada tahun 2019, bahkan Business Roundtable—asosiasi CEO terkemuka Amerika—meninggalkan primasi pemegang saham, menyatakan bahwa korporasi harus melayani semua stakeholder. Larry Fink, CEO BlackRock, kepala manajer aset terbesar di dunia, mulai menuntut perusahaan mengartikulasikan bagaimana strategi bisnis mereka menciptakan nilai sosial di samping pengembalian finansial.
Imperatif Pembangunan Berkelanjutan
Perdebatan ini bukan lagi akademis. Krisis iklim, keruntuhan keanekaragaman hayati, ketimpangan yang meningkat, dan ketidakstabilan sosial memperjelas bahwa bisnis seperti biasa tidak berkelanjutan—secara harfiah. Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan dan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) mengakui bahwa mencapai pembangunan berkelanjutan memerlukan transformasi fundamental dalam cara ekonomi beroperasi dan cara korporasi menjalankan bisnis.
Di bawah primasi pemegang saham murni, dampak lingkungan dan sosial korporasi adalah "eksternalitas"—biaya yang dibebankan pada masyarakat yang tidak muncul di neraca perusahaan. Sebuah perusahaan tambang mungkin memaksimalkan pengembalian pemegang saham dengan memotong keselamatan, mencemari sungai, atau mengusir masyarakat adat—sambil melaporkan keuntungan rekor. Namun eksternalitas ini terakumulasi sebagai biaya sosial: degradasi lingkungan, krisis kesehatan masyarakat, konflik sosial, dan akhirnya ketidakstabilan ekonomi yang mengancam bisnis itu sendiri.
Pembangunan berkelanjutan menuntut internalisasi eksternalitas ini. Standar internasional seperti IFC Performance Standards, UN Guiding Principles on Business and Human Rights, dan kerangka kerja seperti IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance) kini mengharuskan korporasi mengelola dampak sosial dan lingkungan secara sistematis. Semakin banyak pemberi pinjaman yang tidak akan membiayai proyek yang melanggar hak asasi manusia atau merusak ekosistem. Pembeli tidak akan bersumber dari pemasok dengan praktik tenaga kerja yang kasar. Investor menuntut kinerja ESG (Environmental, Social, Governance) di samping pengembalian finansial.
Pergeseran ini mencerminkan pengakuan bahwa nilai pemegang saham jangka panjang dan kesejahteraan stakeholder bukanlah tujuan yang berlawanan—mereka saling bergantung. Sebuah korporasi tidak dapat berkembang di dunia dengan ekosistem yang runtuh, komunitas yang miskin, dan keruntuhan sosial. Sebaliknya, penciptaan nilai berkelanjutan yang menguntungkan stakeholder juga menghasilkan pengembalian yang tahan lama bagi investor.
Menemukan Sintesis: Melampaui Dikotomi Palsu
Mungkin perdebatan Friedman-Freeman menghadirkan dikotomi yang salah. Bagaimana jika masalah sebenarnya bukanlah apakah korporasi harus melayani pemegang saham atau stakeholder, tetapi bagaimana kita mendefinisikan penciptaan nilai dan dalam jangka waktu berapa?
Wawasan inti Friedman—bahwa korporasi harus secara efisien menciptakan nilai—tetap valid. Pertanyaannya adalah: menciptakan nilai untuk siapa, diukur bagaimana, dan dalam periode berapa? Jika "nilai pemegang saham" didefinisikan secara sempit sebagai laba kuartal depan, kita mendapat orientasi jangka pendek dan biaya yang dieksternal. Tetapi jika "nilai pemegang saham" berarti pengembalian jangka panjang yang disesuaikan dengan risiko yang memperhitungkan keberlanjutan sosial dan lingkungan, maka melayani kepentingan stakeholder yang lebih luas menjadi rasional secara instrumental, bukan hanya diinginkan secara moral.
Sintesis ini muncul dalam praktik. Perusahaan semakin menyadari bahwa mengelola hubungan stakeholder dan dampak lingkungan bukanlah filantropi—ini adalah manajemen risiko, identifikasi peluang, dan penciptaan nilai. Berinvestasi dalam keselamatan pekerja, perlindungan lingkungan, dan keterlibatan masyarakat mencegah bencana yang menghancurkan nilai pemegang saham. Membangun kepercayaan stakeholder mengamankan izin sosial, menarik bakat, dan membuka pasar.
Mekanisme grievance—sistem yang memungkinkan komunitas yang terdampak untuk menyampaikan kekhawatiran dan mencari pemulihan—mencontohkan integrasi ini. Standar internasional kini mengharuskan perusahaan untuk membentuk proses grievance yang dapat diakses dan transparan. Mengapa? Bukan dari altruisme, tetapi karena keluhan yang tidak ditangani meningkat menjadi konflik yang mengganggu operasi, merusak reputasi, dan menghancurkan nilai. Mekanisme grievance yang berfungsi melayani kesejahteraan masyarakat dan kelangsungan bisnis.
Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan
Bagi pembangunan berkelanjutan, evolusi ini sangat penting. Jika korporasi menyadari bahwa penciptaan nilai jangka panjang memerlukan keberlanjutan lingkungan dan kesetaraan sosial, bisnis menjadi sekutu daripada penghalang bagi SDGs. Inovasi korporasi dapat mendorong penerapan teknologi bersih, metode produksi berkelanjutan, dan pertumbuhan ekonomi inklusif.
Namun, mengandalkan kepentingan pribadi yang tercerahkan saja tidak cukup. Regulasi yang kuat, standar pelaporan yang transparan, partisipasi stakeholder yang bermakna dalam tata kelola, dan mekanisme akuntabilitas tetap penting. Pasar saja tidak akan menyelesaikan masalah tindakan kolektif atau mencegah eksternalitas. Tetapi pemerintah saja juga tidak dapat mendorong inovasi dan alokasi modal yang diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan.
Jalan ke depan memerlukan kolaborasi: korporasi yang mengejar penciptaan nilai berkelanjutan, pemerintah yang menetapkan aturan dan insentif yang jelas, masyarakat sipil yang memastikan akuntabilitas, dan pasar keuangan yang menghargai kinerja ESG jangka panjang. Dalam model ini, penekanan Friedman pada efisiensi dan fokus Freeman pada stakeholder bukanlah kontradiktif—mereka adalah elemen pelengkap dari kapitalisme berkelanjutan yang menciptakan nilai abadi untuk semua.
Kesimpulan: Tujuan Itu Penting
Lima puluh empat tahun setelah esai Friedman, kita telah belajar bahwa tujuan korporasi secara mendalam membentuk perilaku dan hasil. Definisikan tujuan korporasi secara sempit sebagai maksimalisasi keuntungan jangka pendek, dan Anda mendapat krisis keuangan 2008 dan Deepwater Horizon. Definisikan secara luas sebagai penciptaan nilai berkelanjutan untuk semua stakeholder, dan Anda mendapat model bisnis yang kompatibel dengan masyarakat dan ekosistem yang berkembang.
Perdebatan ini penting karena pembangunan berkelanjutan bergantung padanya. Kita memerlukan korporasi yang efisien dan inovatif—kontribusi Friedman. Tetapi kita juga memerlukan mereka untuk melayani tujuan sosial yang luas dan mengelola dampak mereka secara bertanggung jawab—wawasan Freeman. Di abad ke-21, ini bukan pilihan antara keuntungan dan tujuan. Ini adalah pengakuan bahwa keuntungan sejati dan abadi memerlukan tujuan di luar keuntungan itu sendiri.
Mendapatkan tata kelola korporasi yang tepat bukan hanya tentang etika bisnis—ini tentang apakah kita dapat membangun ekonomi yang mendukung kemakmuran manusia dan kesehatan planet. Itulah mengapa perdebatan Friedman-Freeman, jauh dari sekadar akademis, tetap menjadi salah satu percakapan paling penting di zaman kita.
-Noviansyah Manap-





Comments