top of page

BLOG

Search

Mengapa Standar Internasional Mewajibkan Mekanisme Keluhan: Antara Etika Bisnis dan Manajemen Risiko

  • Writer: A+CSR Indonesia
    A+CSR Indonesia
  • Nov 18
  • 5 min read


Bayangkan sebuah bank investasi di New York yang akan membiayai proyek tambang nikel senilai $500 juta di Indonesia. Atau perusahaan teknologi di Silicon Valley yang akan membeli lithium untuk baterai kendaraan listrik mereka. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan bukan hanya tentang kualitas produk atau keuntungan finansial—tetapi: "Apakah proyek ini melanggar hak asasi manusia? Apakah ini merusak kehidupan masyarakat adat? Apakah ini mencemari lingkungan?"


Inilah realitas baru dalam ekonomi global. Lenders dan buyers tidak lagi hanya peduli pada return on investment—mereka peduli pada reputasi, kepatuhan hukum, dan keberlanjutan jangka panjang. Dan di tengah tuntutan ini, mekanisme grievance menjadi garis pertahanan pertama untuk memastikan bahwa proyek berjalan tidak hanya dengan menguntungkan, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.


Ketika Uang Bertemu Tanggung Jawab


Era ketika perusahaan bisa mengabaikan dampak sosial dan lingkungan telah berakhir. Lembaga keuangan internasional seperti International Finance Corporation (IFC), bank-bank komersial yang menerapkan Equator Principles, dan perusahaan multinasional yang berkomitmen pada supply chain sustainability kini memiliki due diligence yang ketat. Mereka tidak ingin nama mereka tercoreng karena membiayai atau membeli dari proyek yang ternyata melanggar HAM, memiskinkan masyarakat lokal, atau merusak ekosistem.


Risiko reputasi ini bukan teoritis. Pada 2019, beberapa bank Eropa menarik pembiayaan mereka dari proyek tambang batubara di Indonesia setelah laporan NGO internasional mengungkap pelanggaran hak masyarakat adat. Pada 2020, perusahaan teknologi besar di Amerika menghadapi gugatan karena baterai mereka menggunakan kobalt dari tambang yang mempekerjakan anak-anak di Afrika. Dalam ekonomi yang terhubung secara global, masalah di hulu rantai pasok bisa menjadi skandal di hilir.


Di sinilah mekanisme grievance berperan krusial. Ini bukan sekadar kotak saran atau prosedur administratif—ini adalah sistem yang memungkinkan masyarakat terdampak untuk menyampaikan keluhan dan kekhawatiran mereka dengan aman, transparan, dan efektif. Dan keberadaan mekanisme ini kini menjadi persyaratan wajib dalam hampir semua standar internasional yang mengatur proyek-proyek berskala besar.


IFC Performance Standards: Fondasi Manajemen Risiko Sosial


IFC Performance Standards telah menjadi acuan global dalam pengelolaan risiko sosial dan lingkungan sejak diluncurkan tahun 2006 dan direvisi terakhir tahun 2012. Performance Standard 1 tentang Assessment and Management of Environmental and Social Risks and Impacts secara eksplisit mewajibkan perusahaan untuk membangun mekanisme grievance yang dapat diakses oleh komunitas yang terkena dampak.


Mengapa IFC begitu menekankan ini? Karena mereka memahami bahwa keluhan yang tidak tertangani adalah bom waktu. Sebuah keluhan kecil tentang debu dari jalan tambang yang mengotori sumur warga, jika diabaikan, bisa berkembang menjadi protes massal yang menghentikan operasi selama berbulan-bulan. Kerugian finansialnya bisa mencapai puluhan juta dolar—belum lagi kerusakan reputasi yang sulit diperbaiki.


Performance Standard 2 tentang Labor and Working Conditions juga mengharuskan mekanisme grievance internal untuk pekerja. Ini memastikan bahwa pekerja bisa melaporkan kondisi kerja yang tidak aman, diskriminasi, atau pelanggaran hak tenaga kerja tanpa takut kehilangan pekerjaan. Bagi lenders, ini penting karena pelanggaran hak pekerja bisa berujung pada sanksi hukum, denda, bahkan penutupan operasi.


IRMA: Standar Paling Ketat untuk Pertambangan Bertanggung Jawab


Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) adalah standar independen yang mungkin paling komprehensif dan ketat dalam industri pertambangan. Dikembangkan melalui proses multi-stakeholder yang melibatkan perusahaan tambang, masyarakat sipil, serikat pekerja, dan investor, IRMA menetapkan standar tinggi untuk praktik pertambangan yang bertanggung jawab.


Chapter 1.3 IRMA Standard secara spesifik mengatur Community and Stakeholder Engagement, di mana mekanisme grievance menjadi komponen wajib. IRMA tidak hanya meminta perusahaan memiliki sistem keluhan—tetapi mengevaluasi efektivitasnya secara ketat: Apakah mekanisme ini benar-benar digunakan oleh masyarakat? Apakah keluhan ditangani dengan adil dan tepat waktu? Apakah ada pembalasan terhadap pengadu?


Bagi buyers yang peduli pada responsible sourcing—seperti perusahaan elektronik, otomotif, atau energi terbarukan—sertifikasi IRMA adalah jaminan bahwa mineral yang mereka beli tidak berasal dari tambang yang melanggar HAM atau merusak lingkungan. Dan mekanisme grievance yang efektif adalah indikator utama bahwa tambang tersebut memiliki hubungan baik dengan masyarakat lokal.


World Bank ESS 10: Keterlibatan Pemangku Kepentingan sebagai Kunci


World Bank Environmental and Social Standard (ESS) 10 tentang Stakeholder Engagement and Information Disclosure menempatkan mekanisme grievance sebagai elemen sentral dalam keterlibatan pemangku kepentingan. Setiap proyek yang dibiayai World Bank wajib menyusun Stakeholder Engagement Plan (SEP) yang mencakup strategi komunikasi dan mekanisme penanganan keluhan.


ESS 10 mengakui realitas bahwa konflik antara proyek dan masyarakat hampir tidak terhindarkan—pertanyaannya adalah bagaimana konflik ini dikelola. Proyek infrastruktur besar, misalnya pembangunan bendungan atau jalan tol, sering melibatkan pemukiman kembali ratusan bahkan ribuan keluarga. Tanpa mekanisme grievance yang efektif, ketidakpuasan tentang kompensasi yang tidak adil, janji yang tidak ditepati, atau kehilangan mata pencaharian bisa meledak menjadi konflik sosial yang melumpuhkan proyek.


World Bank juga menekankan pentingnya aksesibilitas bagi kelompok rentan—perempuan, masyarakat adat, orang dengan disabilitas, dan kelompok minoritas. Mekanisme grievance harus dirancang agar kelompok-kelompok ini bisa menyampaikan keluhan tanpa hambatan bahasa, budaya, atau geografis. Ini bukan hanya soal keadilan—tetapi juga manajemen risiko, karena kelompok rentan sering menjadi yang paling terdampak namun paling tidak terdengar suaranya.


UN Guiding Principles: Hak Asasi Manusia sebagai Fondasi


United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) yang diadopsi tahun 2011 telah mengubah paradigma tanggung jawab korporasi. Prinsip 31 UNGPs menetapkan delapan kriteria untuk mekanisme grievance yang efektif: legitimate, accessible, predictable, equitable, transparent, rights-compatible, a source of continuous learning, dan based on engagement and dialogue.


UNGPs menegaskan bahwa mekanisme grievance bukan hanya tentang menyelesaikan keluhan—tetapi tentang menghormati hak asasi manusia. Ketika seorang petani kehilangan tanahnya karena ekspansi perkebunan sawit, ini bukan hanya soal kompensasi finansial—tetapi tentang hak atas penghidupan yang layak. Ketika masyarakat adat kehilangan akses ke hutan yang secara turun-temurun mereka kelola, ini tentang hak budaya dan spiritual mereka.


Bagi lenders dan buyers yang beroperasi di negara-negara yang meratifikasi UN Guiding Principles—atau yang memiliki komitmen corporate social responsibility—kepatuhan pada UNGPs bukan pilihan tetapi kewajiban. Dan mekanisme grievance yang berbasis hak asasi manusia adalah bukti konkret dari komitmen tersebut.


Dari Compliance ke Competitive Advantage


Yang menarik, mekanisme grievance yang efektif telah berevolusi dari sekadar compliance requirement menjadi competitive advantage. Perusahaan yang memiliki track record baik dalam mengelola keluhan dan membangun hubungan konstruktif dengan masyarakat lokal lebih mudah mendapatkan pembiayaan dengan bunga lebih rendah, akses ke pasar yang mensyaratkan responsible sourcing, dan social license to operate yang stabil.


Di sisi lain, perusahaan yang mengabaikan keluhan masyarakat menghadapi risiko berlipat: penundaan atau pembatalan proyek, gugatan hukum, kampanye NGO internasional, tekanan dari investor dan konsumen, hingga sanksi dari regulator. Dalam beberapa kasus, kerugian finansialnya mencapai ratusan juta dolar—jauh lebih besar dari biaya membangun mekanisme grievance yang efektif.


Mendengarkan sebagai Strategi Bisnis


Mekanisme grievance adalah pengakuan bahwa pembangunan tidak bisa berlangsung dengan menginjak-injak hak orang lain. Standar internasional—IFC Performance Standards, IRMA, ESS World Bank, UN Guiding Principles—semuanya menggarisbawahi satu prinsip fundamental: masyarakat yang terdampak berhak didengar, dan keluhan mereka berhak ditanggapi dengan serius.


Bagi lenders dan buyers, mekanisme grievance yang efektif adalah indikator bahwa proyek dikelola secara bertanggung jawab. Dan bagi perusahaan yang cerdas, ini bukan beban—tetapi investasi dalam keberlanjutan jangka panjang.


ree

 
 
 

Comments


We work with executives from:

​© 2023 by Susan Green Coaching.

Proudly created with Wix.com

  • w-facebook
  • Twitter Clean
  • White Google+ Icon
bottom of page