Studi Desa Sawit Tanggap Api, Kalimantan Barat dengan Pendekatan Disaster Risk Reduction
- A+CSR Indonesia

- May 11, 2018
- 5 min read

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kebakaran lahan dan hutan di sejumlah wilayah di Indonesia rutin terjadi setiap tahun menjelang musim kemarau. Tahun 2015 bisa jadi merupakan tahun terburuk dalam kasus kebakaran lahan. Areal lahan yang terbakar mencapai luasan 1,7 juta ha (BNPB, 2015), sementara kerugian ekonomi yang ditimbulkan diperkirakan mencapai USD $14 milyar - USD $20 milyar (CIFOR, 2015). Belum lagi korban jiwa, dampak terhadap kesehatan dan reputasi Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Pemerintah sebagai pihak yang paling concern dalam penanggulangan bencana kebakaran lahan dan hutan, secara sendiri-sendiri maupun kerja sama antarlembaga dengan membentuk taskforce telah menyelenggarakan banyak program.
Sebagaimana diyakini banyak pihak, faktor penyebab terjadinya kebakaran lahan dan hutan tidaklah tunggal. Namun demikian dalam lingkup lokal, faktor penyebabnya dapat diurai menjadi lebih sederhana. Meski sebagian kejadian kebakaran diduga dipicu unsur sengaja oleh oknum tertentu, namun masyarakat adalah pihak yang pertama kali terdampak dan paling rentan saat kejadian muncul. Keterbatasan sumberdaya, infrastruktur dan sarana pendukung yang dimiliki masyarakat menyebabkan dampak dan kerugian yang amat besar harus ditanggung masyarakat.
Di luar faktor alam yang tidak dapat dikontrol, para pihak masih dapat mengendalikan sejumlah faktor untuk menanggulangi atau bahkan mengurangi ancaman risiko kebakaran lahan dan hutan. Di sisi lain, ancaman kebakaran lahan dan hutan tidak hanya dihadapi oleh masyarakat me ain an a i a ain an erada da am sa awasan an erisi o. ecara eo ra s areal masyarakat berhimpitan dengan kawasan yang diusahakan oleh organisasi bisnis (swasta maupun negara) sehingga risikonya harus ditanggung dan diselesaikan bersama. Kemitraan multipihak berpeluang mengkombinasikan sumberdaya dan keahlian masing-masing pihak yang bekerja sama untuk menurunkan risiko serta potensi kerugian.
Diharapkan kemitraan multipihak menempatkan pihak masyarakat dan organisasi bisnis sebagai bagian dari aktor penting dalam penganggulangan dan penyelesaian masalah. Selain tentunya dalam jangka panjang dapat meningkatkan kemampuan daya tahan masyarakat menghadapi ancaman bencana.
Pemahaman terhadap strategi penghidupan masyarakat di Desa Sawit sangat penting diketahui, karena masyarakat menjalani penghidupan berdasarkan sumberdaya dan informasi yang dimiliki. Kejadian bencana kebakaran yang terjadi bukan akibat alam (kekeringan ekstrem), biasanya terkait dengan aktivitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat tidak mampu mengembangkan strategi penghidupan berkelanjutan karena keterbatasan sumberdaya dana/atau kemiskinan.
Umumnya masyarakat mengembangkan beberapa bentuk strategi penghidupan berdasarkan tantangan dan pengetahuan yang mereka miliki, dan telah dipraktikkan dalam kurun waktu yang lama. Beragam strategi yang dikembangkan oleh masyarakat dalam menghadapi musim kemarau, masa paceklik, atau musim hujan yang berkepanjangan atau menghadapi situasi sulit lainnya.
Program penanggulangan bencana kebakaran perlu memerhatikan beragam strategi penghidupan masyarakat. Penerimaan dan adopsi sistem atau model penanganan bencana kebakaran akan sangat terkait dengan kondisi penghidupan masyarakat. Jika masyarakat menganggap introduksi model penanggulangan bencana dan kemitraan berdampak positif bagi kehidupan dan penghidupannya, masyarakat memiliki motivasi kuat untuk mengadopsinya.
Berkaca dari peristiwa tersebut, Kementerian Keuangan melalui lembaga BPDP Kelapa Sawit yang bertugas melakukan pungutan dana ekspor kelapa sawit dalam upaya mendukung industri kelapa sawit yang berkelanjutan, berkomitmen mendukung program-program dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran lahan dan hutan melalui Desa Sawit Tanggap API (DSTA). Program-program tersebut antara lain pemberian pelatihan, penguatan kapasitas aparatur desa dan masyarakat dalam pencegahan dan pengurangan dampak bencana kebakaran hutan dan program lainnya.
Dalam upaya pembentukan DSTA tersebut, dibutuhkan kajian dan data terkait implementasinya, hal ini dikarenakan penanganan masing-masing desa terkait kesiapan, infrastruktur, dan kebutuhannya berbeda-beda. Dengan mempertimbangkan minimnya SDM BPDP Kelapa Sawit, maka diperlukan pendampingan dari konsultan dalam rangka penyusunan kajian awal terkait implementasi DSTA.
1.2 MAKSUD DAN TUJUAN Maksud kajian awal implementasi DSTA:
Mendapatkan data dan informasi awal terkait penanganan DSTA.
Mendukung industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
Tujuan penyusunan kajian awal implementasi DSTA:
Mendukung program penanggulangan bencana kebakaran lahan dan hutan melalui DSTA.
Mendukung program pencegahan dan pengurangan dampak bencana kebakaran hutan.
Terbentuknya inisiasi awal kemitraan multipihak (BPDP, Pemda, Perusahaan, Masyarakat) dalam penanggulangan bencana kebakaran lahan dan hutan di wilayah sekitar perkebunan sawit.
1.3 LUARAN
Mendapatkan data dan informasi awal terkait desa-desa yang akan diinisiasi menjadi DSTA;
Tersedianya kajian awal implementasi DSTA;
Identifikasi kondisi penghidupan masyarakat, potensi, memetakan para pelaku dalam penanganan bencana serta sumberdaya yang dimiliki.
1.4 LINGKUP KEGIATAN
Lingkup kegiatan kajian awal implementasi DSTA adalah sebagai berikut:
Melakukan kajian mengenai isu strategis terkait kebakaran hutan di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat;
Melakukan analisa kebutuhan dalam konteks kerawanan bencana;
Menyusun model Implementasi Desa Sawit Tanggap Api.
Lingkup area yang akan diinisiasi dalam rangka pembentukan DSTA adalah: Lima Desa di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Pengambilan lima desa lokasi studi tersebut ditentukan secara sengaja dengan mempertimbangkan atribut sebagai berikut:
1) Desa dengan sebagian pekerjaan warganya sebagai petani mandiri kebun sawit dan atau bekerja di perusahaan perkebunan sawit;
2) Desa yang sebagian lahannya dikelola perusahaan perkebunan sawit;
3) Desa dengan dominasi demografi tertentu (etnis, transmigrasi)
1.5 METODE PELAKSANAAN
Metode pelaksanaan kegiatan berupa:
Studi data sekunder. Dilakukan untuk mendapatkan informasi awal tentang kondisi bencana kebakaran, program-program yang sudah dijalankan oleh Pemda Kabupaten Kubu Raya, dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam penanganan bencana.
Pengamatan lapangan. Melihat langsung kondisi lapangan dan memahami konteks lokal.
Diskusi terarah (focus group discussion) dengan kelompok masyarakat di desa. Melakukan diskusi di tingkat dusun atau desa dengan kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari perangkat desa, kelompok petani/gapoktan, kelompok perempuan, pemuda, kelompok relawan yang ada di desa, dan lain-lain.
Diskusi terarah (focus group discussion) dengan SKPD, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Bappeda Kabupaten, dan Perusahaan di tingkat Kabupaten Kubu Raya.
1.6 TEORI YANG DIGUNAKAN Tim peneliti menggunakan sebuah teori Community-Based Disaster Risk Reduction - Building Resilience - A Guide to Facilitating Community-Managed Disaster Risk Reduction in Horn Africa, Catholic Relief Services and International Institute for Rural Reconstruction (IIRR), 2013.
Hazard Disaster Risk = (Hazard x Vulnerability)
Capacity
Risiko bencana dari setiap marabahaya (hazard) dalam masyarakat sangat tergantung pada seberapa rentan masyarakat dari marabahaya dan seberapa baik masyarakat dilengkapi untuk mengatasi dampak yang disebabkan oleh marabahaya. Jika marabahaya sangat mungkin terjadi (quite likely dan memi i i dam a an si ni an dan i a mas ara a memi i i sedi i strategi bertahan (coping strategy), maka risiko bencana tinggi. Jika marabahaya kemungkinan terjadinya kecil, atau jika warga memiliki kemampuan lebih besar untuk menghadapi dampak bencana, maka risiko bencana rendah. Dalam implementasi teori tersebut, maka tim akan memeriksa setiap bahaya yang terjadi dan penilaian masyarakat terhadap tingkat risiko dari bencana tersebut serta melakukan tindakan yang sesuai dengan perencanaan pengurangan risiko. Empat langkah-langkah kunci yang akan dilihat tim dalam menganalisis risiko bencana:
Pencegahan bahaya: yang dipelajari adalah hal-hal yang membantu masyarakat untuk menghilangkan bahaya. Misalnya praktik budidaya di daerah gambut yang berkelanjutan, peraturan tentang larangan perilaku berbahaya bagi masyarakat yang menimbulkan bencana, kegiatan seperti pencegahan penyakit atau dampak kebakaran, manajemen konflik, Bencana alam (natural disaster) terjadi tidak dapat dicegah, yang dapat dilakukan adalah mengurangi dampak bencana. Sedangkan bencana yang disebabkan oleh manusia (man-made disaster) dapat dicegah.
Mitigasi bahaya: yang akan dipelajari adalah upaya mengurangi dampak potensial dari bahaya sebelum terjadi, seperti membangun tanggul hulu untuk mengalihkan limpahan atau bangunan di zona bahaya, dan upaya masyarakat untuk lebih tahan terhadap bencana dengan meningkatkan prospek penghidupannya.
Pengurangan kerentanan pada tingkat individu: yang akan dipelajari adalah upaya meningkatkan kemampuan individu untuk bertahan dan bangkit kembali setelah bencana terjadi. Tindakan meliputi diversifikasi sumber-sumber pendapatan, peningkatan keterampilan individu dan kelompok dalam teknik-teknik penyelamatan saat bencana, informasi tempat evakuasi, persediaan pangan saat bencana, penggunaan alat-alat pemadam kebakaran, dll.
Pengurangan kerentanan di tingkat masyarakat: yang akan dipelajari adalah penguatan sistem dan struktur masyarakat untuk mengurangi dampak dari bahaya. Tim akan melihat langkah-langkah yang mencakup pencarian dan sistem penyelamatan, lokasi evakuasi, sistem peringatan dini, dan akses informasi, persediaan pangan saat bencana pada tingkat desa, dan lain-lain.
Marabahaya dapat berdampak kepada masyarakat lebih luas, namun sebagian marabahaya hanya berdampak kepada individu. Marabahaya tertentu dapat menyebabkan terjadinya marabahaya yang lain. Misalnya kejadian kekeringan yang menyebabkan kekurangan air bersih dan air untuk budidaya dapat menyebabkan kegagalan panen, kurang pangan, dan kebakaran lahan yang hebat.
Setiap marabahaya memiliki ciri atau perilaku yang khusus. Ciri-ciri atau perilaku marabahaya memiliki karakteristik: tanda-tanda atau sinyal, peringatan dini, kecepatan terjadi bencana di lapangan, frekuensi, periode terjadi, dan lama kejadian.
Catatan: Laporan Desa Sawit Tanggap Api (DSTA) dilakukan oleh A+CSR untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, laporan lengkap hanya dapat diberikan atas ijin BPDP









Comments